“Ketika penjarahan menjadi gaya hidup bagi sebuah kelompok yang hidup di tengah-tengah sebuah masyarakat, dengan berlangsungnya waktu, mereka akan menciptakan bagi mereka sendiri sebuah sistem legal untuk mengesahkan tindakan tersebut dan sebuah kode moral untuk mengagungkannya.”
- Frederic Bastiat -
Kita sambung lagi ceritanya… Hari ini kita cerita tentang debt-based-money-system (sistem hutang sebagai uang). Ini sistem yang sama yang digunakan di negara manapun di dunia, termasuk Indonesia.
Sebelumnya, silahkan baca dulu 2 dongeng tersebut:
* Saya Menginginkan Seluruh Dunia Plus 5%
* Mitos Uang
Uang (money), seperti yang kita ketahui, adalah simbol dari kekayaan (wealth). Dengan uang, kita bisa membeli berbagai barang yang tersedia di dunia. Bagi kebanyakan orang, uang itu sendiri adalah kekayaan. Money = Wealth.
Namun kenyataannya sedikit berbeda kawan. Kekayaan, baik berupa barang yang diproduksi, maupun modal tak tampak seperti pengetahuan dan keahlian manusia tidak sama persis dengan uang. Kekayaan bisa saja berada di sebuah komunitas untuk waktu yang sangat lama, sedangkan uang belum tentu.
Setiap unit uang memiliki umur tertentu. Yang saya maksud dengan umur bukan ketahanan fisik dari uang itu, tidak peduli uang itu berupa selembar kertas, sebatang kayu, sekeping koin logam, atau hanya angka elektronik di komputer. Yang saya maksud dengan umur adalah batasan waktu bagi uang tersebut untuk beredar di sebuah komunitas.
Kebanyakan orang tidak diberitahu bahwa uang tercipta saat bank menciptakan kredit. Masyarakat percaya bahwa negara mencetak uang, tetapi tidak membayangkan bagaimana proses uang itu muncul di tangan publik, yang mereka bayangkan adalah masyarakat akan berusaha dan bersaing dengan adil untuk mendapatkan uang tersebut.
Tapi kenyataannya, di zaman ini kreditlah uang, tidak masalah bentuknya logam, kertas, atau angka digital elektronik. Dan yang namanya kredit ada masa pembayarannya, tergantung kesepakatan saat pengajuan kredit antara Anda dengan bank pemberi kredit.
Umpamakan begini…
Budi meminjam 100 rupiah dengang bunga 20% / tahun, cara pembayaran yang Budi sepakati dengan bank adalah dengan membayar 10 rupiah selama 12 bulan, total Rp 120.
Memasuki bulan ke-10, Budi sudah kehilangan 100 rupiah yang dia pinjam sebelumnya, cicilan untuk dua bulan mendatang hanya mungkin datang lewat 2 cara:
1. Mengajukan pinjaman baru, menutup hutang lama dengan hutang baru.
2. Menjual sesuatu kepada orang lain yang memiliki rupiah, dan menggunakan uang itu untuk membayar cicilan
Misalnya Budi menggunakan cara pertama, memperpanjang skema pinjaman ini dengan cara yang sama. Maka memasuki bulan ke-20, dia lagi-lagi akan kehilangan semua uangnya, dan cicilan untuk bulan ke-21 sampai bulan ke-24 lagi-lagi hanya bisa dilakukan lewat 2 cara di atas.
Kalau Budi memilih cara kedua, bahwa cicilannya akan dibayar oleh orang lain yang membayar rupiah kepadanya atas barang / jasa yang dia jual, ketahuilah bahwa rupiah yang ada di tangan orang tersebut sebenarnya juga muncul lewat 2 cara di atas sebelumnya.
Bunga pinjaman, akan mempercepat masa hilangnya uang di sebuah komunitas, mempercepat waktu di mana kredit baru harus diajukan oleh komunitas tersebut, dan juga mentransfer kekayaan dari tangan orang yang mengajukan kredit kepada orang yang menciptakan kredit. Dan bila suatu ketika bunga pinjaman terlambat dibayar oleh si peminjam, dan keterlambatan cicilan tersebut juga ikut dibungakan(bunga-berbunga / compounding interest), maka waktu yang dimiliki komunitas tersebut untuk mengajukan kredit baru akan terus bertambah sempit, dan skala kredit yang harus diajukan oleh komunitas tersebut juga akan terus membesar secara eksponensial. Dalam jangka waktu yang panjang, setelah berpuluh-puluh tahun atau seratusan tahun, skala kredit (hutang) yang harus diajukan oleh komunitas tersebut (generasi anak-cucu-cicit mereka) bisa membentuk kurva parabolik raksasa.
Bila tanpa bunga, waktu yang diperlukan sebelum komunitas tersebut harus mengajukan kredit baru akan menjadi lebih lama. Dan bila dibandingkan dengan apa yang akan terjadi dengan sistem bunga-berbunga, waktu yang diperlukan di mana komunitas tersebut harus mengajukan kredit (hutang) baru akan bertambah sangat-sangat drastis, tetapi tetap saja uang itu ada masa berlakunya, tetap saja itu status uang itu adalah hutang dari publik yang harus dilunasi kepada sang pencipta kredit.
Kalau memang harus memilih salah satu di antara keduanya, wajarnya kita akan memilih sistem penciptaan kredit tanpa bunga daripada sebaliknya. Benar-benar orang yang aneh kalau dia berpikir bahwa mengenakan bunga dalam proses penciptaan uang yang diperlukan publik adalah demi kebaikan / kepentingan komunitas tersebut.
Kita-kita semua, termasuk berlevel-level generasi di atas kita, pada dasarnya hanya sekelompok manusia yang silih-berganti mengajukan kredit kepada sang pencipta kredit agar kita bisa memiliki uang sebagai medium transaksi. Demikian juga dengan generasi-generasi yang berikut, hanya akan silih-berganti memikul tanggung-jawab yang semakin lama semakin berat untuk berhutang dan membayar bunga hutang tersebut, dengan tujuan untuk mempertahankan suplai uang di komunitas masing-masing.
Kalau Anda pikir baik-baik, mengenakan bunga dalam debt based money system benar-benar adalah rancangan seorang genius. Kenyataan bahwa ada sekelompok orang yang sudah mulai mempraktekkannya / berusaha mempraktekkannya di komunitas mereka sejak ribuan tahun yang lalu, benar-benar membuktikan bahwa manusia adalah makluk yang sangat cerdas, bahkan sejak dahulu kala.
Tetapi, tentu saja, kenyataan bahwa ada zaman-zaman tertentu di mana manusia bisa membiarkan diri mereka diperbudak oleh sistem ini (termasuk zaman ini) juga membuktikan bahwa manusia juga adalah sebuah makluk yang mudah melupakan masa lalu. Pikiran kita terus-menerus dialihkan ke berbagai hal lainnya oleh sebuah sistem / kekuatan secara tidak kita sadari, tidak ada lagi waktu dan konsentrasi untuk memikirkan darimana uang berasal, dan apa status uang yang kita gunakan. Semua orang sibuk memikirkan urusan pribadinya, urusan keluarganya, urusan kantornya, urusan selebriti pujaannya, urusan politisi favoritnya, dan bla bla bla lainnya(Divide & Conguer).
Kalau memang ada sebuah topik yang sedemikian penting yang harus didiskusikan secara nasional di seluruh sekolah, universitas, televisi, radio, bahkan sampai ke sudut warung kopi sekalipun di negara ini, bahkan secara internasional di seluruh dunia, saya rasa topik itu adalah bagaimana seharusnya uang diciptakan kepada publik, kepada kita-kita semua.
Gerakan untuk memulainya sudah dilakukan sejak lama, terutama di luar negeri. Anda bisa melihatnya di internet, ada ribuan, bahkan puluhan ribu website dari orang-orang yang ingin memprotes, lihat juga di youtube, video-video dari orang yang sedang membagi informasi kepada seluruh orang di dunia mengenai sistem gila yang kita gunakan sekarang.
Sedih sekali rasanya ketika membuka televisi, menyaksikan debat dan kampanye calon “pemimpin rakyat,” dan yang kita dengar terus-menerus dari mulut mereka adalah solusi atas berbagai AKIBAT dari masalah, bukan PENYEBAB dari masalah. Saya percaya kebanyakan dari mereka memang berniat untuk memperbaiki keadaan negara, tetapi di sisi lain saya juga merasa mereka sedang mencari solusi di tempat yang salah, bagaimana mereka mau menawarkan solusi kalau mereka bahkan tidak memahami penyebabnya?
Debt Based Money System,
Bunga Kreasi Uang,
Fractional Reserved Banking.
Inilah rangkaian awal penyebab berbagai masalah.
Kita sambung lagi cerita Budi dan kawan-kawannya di atas…
Apa yang Budi pinjam, itulah yang dia bayarkan. Tidak masalah Budi memproduksi apa atau memiliki keahlian apa, kalau Budi meminjam rupiah kepada bank maka rupiahlah yang harus dikembalikan kepada bank. Tidak masalah bentuk rupiah seperti apa, apakah 1 rupiah = selembar kertas dengan cap Rp1 , atau 1 rupiah = 1 gr batu / logam tertentu , atau 1 rupiah = sebatang kayu ukuran tertentu, atau lainnya.
Kalau rupiah adalah kertas, dia harus mengembalikan kertas, kalau rupiah adalah logam, dia harus mengembalikan logam, kalau rupiah adalah sebatang kayu, dia harus mengembalikan sebatang kayu… Plus bunga pinjaman dalam bentuk yang sama.
Untuk menjadi sang pencipta uang, kita harus berhasil membujuk seluruh komunitas untuk menggunakan suatu benda yang kita miliki / produksi sebagai uang. Atau kalau tidak bisa membujuk mereka, kita harus memiliki kekuasaan untuk memaksa mereka untuk menerima suatu benda yang kita miliki / produksi sebagai uang. Hanya 1 dari 2 cara ini, tidak perlu yang lain.
“Biarkan saya yang mengontrol uang sebuah negara, maka saya tidak peduli siapa yang menulis hukum di negara tersebut.”
- Mayer Amschel Rothschild. 1790 –
Medium yang bertahan paling lama sebagai uang bagi umat manusia adalah emas dan perak. Ada yang menyebutnya dengan uang “sejati,” ada yang menyebutnya dengan uang “jujur,” ada yang menyebutnya dengan uang “Tuhan.”
Mungkin ada baiknya juga kita mencari tahu sejarah penambang emas, siapakah mereka sebenarnya? Saya masih sedikit penasaran, apakah emas yang hebat, karena telah bertahan selama ribuan tahun, atau manusia-manusia di balik bisnis emas yang hebat, yang telah bertahan selama ribuan tahun?
Terus-terang, sampai hari ini pun saya masih belum memahami misteri emas, mengapa ratusan juta orang, bahkan milyaran orang begitu menginginkannya. Bagaimana sekeping logam kuning ini bisa memiliki kekuatan yang sedemikian besar di dunia? Apakah karena sejak dulu orang-orang menganggapnya sebagai uang, maka otomatis kita juga harus mempertahankan pendapat tersebut selamanya? Apakah uang, sebagai medium pertukaran barang, benar-benar harus memiliki “nilai intrinsik?” Atau apakah emas benar-benar memiliki nilai intrinsik?
Anyway, poin yang mau saya ceritakan bukan bahan apa yang mau dijadikan sebagai uang, melainkan bagaimana uang muncul ke tangan publik, dan apa status uang itu, sebagai hutang atau sebagai apa, itulah yang ingin saya sampaikan kepada Anda untuk dipikirkan.
Jangan salah paham, saya bukan sedang kampanye anti emas, sebagian tabungan saya juga saya simpam dalam bentuk emas. Seperti yang saya katakan, saya belum memahami misteri emas. Kita sedang hidup di sebuah zaman yang ekstrim, kita-kitalah yang akan menjadi saksi meletusnya bubble hutang terbesar dalam sejarah manusia, mendiversifikasikan tabungan pada zaman seperti sekarang bukanlah sebuah gagasan yang buruk kawan…
Ok, kita balik ke kota Budi tadi…
Umpamakan saja: Bank meminjamkan 1 juta rupiah kepada semua anggota komunitas tersebut dengan bunga 5% / tahun. Tanpa mengenakan bunga-berbunga, dan hanya bunga yang perlu dibayarkan setiap tahun, hutang pokok bisa ditunda.
Maka seluruh anggota kota tersebut harus mengembalikan 50 ribu rupiah setiap tahun kepada bank, dan dalam waktu 20 tahun semua suplai uang di komunitas tersebut sudah habis dihisap oleh bank itu kembali…
Sekarang, bank bukan hanya memiliki 1 juta modal awal yang tetap tercatat sebagai aset mereka (publik masih berhutang 1 juta kepadanya), mereka juga memegang kendali penuh suplai uang komunitas tersebut lewat pembayaran hutang yang dilakukan publik selama 20 tahun ini.
Tentu saja, publik tidak akan menunggu waktu 20 tahun untuk mengajukan kredit baru, jauh sebelumnya mereka sudah mengajukan kredit tersebut. Dunia ini luas, ada berbagai hal lain yang masih bisa dilakukan, masih ada banyak tanah yang masih bisa ditanami & dibangunkan rumah-rumah dan gedung untuk dihuni, dan masih banyak industri-industri baru yang bisa dikembangkan, dll. Ada alasan dan sarana yang sangat banyak bagi komunitas tersebut untuk terus beraktifitas dan menjadikannya sebagai dasar untuk mengajukan kredit baru. Suplai uang tidak akan menurun dengan gampang, selama masih ada peluang pengembangan baru dan daya beli komunitas tersebut masih ada (beban hutang belum mencapai level maksimal).
Bankir yang waras tentunya ingin meminjamkan sebanyak mungkin uang kepada publik. Tidak heran, sebab dari sanalah dia mendapatkan bunga, lewat cara itulah transfer kekayaan dilakukan. Dengan berlalunya waktu, umumnya mereka akan berupaya meminjamkan lebih banyak uang daripada yang mereka miliki. Mereka bisa mencoba mengurangi porsi emas / perak di koin logam yang mereka buat… Atau mengganti emas / perak dengan logam lain yang lebih murah… Atau menulis nota emas untuk menggantikan emas riil… Atau menjadikan nota (kertas) itu sendiri sebagai uang (mengakhiri zaman emas / perak sebagai uang resmi)… Atau mulai menerbitkan cek untuk menggantikan sebagian uang kertas… Atau menciptakan uang elektronik untuk menggantikan uang kertas… dst… Benar-benar kreatif. Tampaknya mereka selalu bisa menemukan cara untuk memenuhi keinginan mereka.
Namun ada hal yang tidak akan berubah…
Bankir hanya menciptakan uang dalam bentuk kredit (hutang), dan mereka selalu meminta lebih daripada yang mereka berikan.
Ibarat seorang tukang kayu yang setiap hari menebang pohon lebih cepat daripada dia menanamnya kembali… Kalau tindakan dia dibiarkan, dan diteruskan ke anak dia… dan diteruskan lagi ke cucu dia… dan diteruskan lagi ke cicit dia… Hanya masalah waktu sebelum dinasti tukang kayu ini menggunduli semua pohon di dunia.
Ini adalah logika matematika yang wajar kawan, saya tidak sedang menulis hal-hal yang misterius di sini…
Fractional reserved system dibuat untuk melipatgandakan kredit yang bisa bank ciptakan… Menggunakan uang kertas sebagai basis, atau menggunakan emas sebagai basis, dua-duanya akan berakhir dengan skenario yang sama kalau kita mengizinkan fractional reserved system, apalagi kalau rasio fractional reserved bisa dibuat fleksibel sesuai keinginan para bankir.
Kalau suplai uang (kredit baru) tumbuh lebih cepat dari pembayaran kredit lama dan bunganya, tanpa diikuti oleh pertumbuhan produksi barang / jasa, kita menyebutnya inflasi… atau menggunakan kosakata yang lebih positif, pertumbuhan ekonomi…
Kalau kredit baru lebih kecil dari pembayaran kredit lama dan bunganya, kita menyebutnya deflasi… atau menggunakan kosakata lain, resesi ekonomi…
Manusia-manusia di dunia ini, kita-kita semua, sebenarnya hanyalah sekelompok orang yang dipermainkan dalam debt based money system dan fractional reserved banking… Hutang kitalah yang menggerakkan aktifitas perekonomian di planet ini.
Omong-omong soal bahan uang, secara teoritis, turunnya nilai uang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan bahan apa yang dipakai untuk dijadikan sebagai uang. Menyalahkan inflasi kepada uang kertas adalah statement yang kurang adil kepada uang kertas.
Kontrol suplai uanglah (kredit) masalahnya. Kitalah yang mengizinkan fractional reserved banking, kembali ke gold standard tidak akan mengubah apapun kalau kita terus hidup dalam sistem fractional reserved banking dengan rasio fractional reserved yang bisa diubah-ubah sesuka hati. Uang kertas memang bisa dipalsukan, tetapi demikian juga dengan nota emas.
Tentu saja, kalau Anda bisa mengembalikan dunia ke zaman emas / perak / logam lainnya sebagai uang, saya juga tidak akan memprotesnya. Seperti yang sudah saya katakan, saya tidak peduli bahan apa yang digunakan sebagai uang, sumber masalah kita adalah debt based money system, bunga uang, dan fractional reserved banking.
Pemerintah, dalam imajinasi saya, adalah institusi yang didirikan untuk membela kepentingan rakyatnya, untuk melakukan berbagai pekerjaan publik, menyediakan sarana dan prasarana publik, termasuk uang sebagai medium transaksi.
Uang seharusnya bisa dicetak oleh pemerintah, tanpa bunga, untuk mewakili produksi barang / jasa dari rakyat yang mereka wakili. Jumlah uang yang boleh dicetak adalah tergantung seberapa besar kapasitas produksi dan perdagangan dari negara tersebut.
Tentu saja, saya akui kalimat seperti ini gampang untuk diucapkan dan agak sulit untuk diterapkan. Menghitung kapasitas produksi, kapasitas perdagangan, dan bagaimana mendistribusikan uang yang akan dicetak kepada publik memang bukan hal yang sederhana. Tapi sulit bukan berarti tidak mungkin, yang penting adalah niat dan kesempatan untuk melakukannya.
Anyway, ini hanyalah salah satu konsep, mungkin masih ada konsep-konsep lainnya yang bisa dipikirkan, itulah diskusi yang kita perlukan untuk terjadi di negara ini. Inilah topik yang menurut saya penting untuk muncul di masyarakat, di sekolah, di universitas, dan di media.
Saya tidak mengklaim bisa memberikan solusi atas masalah ini, tujuan saya menulis blog ini adalah mengajak orang untuk mulai memikirkan metode penciptaan uang yang lebih adil. Harapan saya, tulisan-tulisan di sini bisa ikut membuka minat dan niat dari orang-orang untuk mereformasi sistem keuangan ribawi yang sedang kita anut.
Jadi, mulailah bercerita kawan… Topik ini benar-benar perlu untuk didiskusikan di masyarakat, bukan hanya di dunia maya…
- Frederic Bastiat -
Kita sambung lagi ceritanya… Hari ini kita cerita tentang debt-based-money-system (sistem hutang sebagai uang). Ini sistem yang sama yang digunakan di negara manapun di dunia, termasuk Indonesia.
Sebelumnya, silahkan baca dulu 2 dongeng tersebut:
Uang (money), seperti yang kita ketahui, adalah simbol dari kekayaan (wealth). Dengan uang, kita bisa membeli berbagai barang yang tersedia di dunia. Bagi kebanyakan orang, uang itu sendiri adalah kekayaan. Money = Wealth.
Namun kenyataannya sedikit berbeda kawan. Kekayaan, baik berupa barang yang diproduksi, maupun modal tak tampak seperti pengetahuan dan keahlian manusia tidak sama persis dengan uang. Kekayaan bisa saja berada di sebuah komunitas untuk waktu yang sangat lama, sedangkan uang belum tentu.
Setiap unit uang memiliki umur tertentu. Yang saya maksud dengan umur bukan ketahanan fisik dari uang itu, tidak peduli uang itu berupa selembar kertas, sebatang kayu, sekeping koin logam, atau hanya angka elektronik di komputer. Yang saya maksud dengan umur adalah batasan waktu bagi uang tersebut untuk beredar di sebuah komunitas.
Kebanyakan orang tidak diberitahu bahwa uang tercipta saat bank menciptakan kredit. Masyarakat percaya bahwa negara mencetak uang, tetapi tidak membayangkan bagaimana proses uang itu muncul di tangan publik, yang mereka bayangkan adalah masyarakat akan berusaha dan bersaing dengan adil untuk mendapatkan uang tersebut.
Tapi kenyataannya, di zaman ini kreditlah uang, tidak masalah bentuknya logam, kertas, atau angka digital elektronik. Dan yang namanya kredit ada masa pembayarannya, tergantung kesepakatan saat pengajuan kredit antara Anda dengan bank pemberi kredit.
Umpamakan begini…
Budi meminjam 100 rupiah dengang bunga 20% / tahun, cara pembayaran yang Budi sepakati dengan bank adalah dengan membayar 10 rupiah selama 12 bulan, total Rp 120.
Memasuki bulan ke-10, Budi sudah kehilangan 100 rupiah yang dia pinjam sebelumnya, cicilan untuk dua bulan mendatang hanya mungkin datang lewat 2 cara:
1. Mengajukan pinjaman baru, menutup hutang lama dengan hutang baru.
2. Menjual sesuatu kepada orang lain yang memiliki rupiah, dan menggunakan uang itu untuk membayar cicilan
Misalnya Budi menggunakan cara pertama, memperpanjang skema pinjaman ini dengan cara yang sama. Maka memasuki bulan ke-20, dia lagi-lagi akan kehilangan semua uangnya, dan cicilan untuk bulan ke-21 sampai bulan ke-24 lagi-lagi hanya bisa dilakukan lewat 2 cara di atas.
Kalau Budi memilih cara kedua, bahwa cicilannya akan dibayar oleh orang lain yang membayar rupiah kepadanya atas barang / jasa yang dia jual, ketahuilah bahwa rupiah yang ada di tangan orang tersebut sebenarnya juga muncul lewat 2 cara di atas sebelumnya.
Bunga pinjaman, akan mempercepat masa hilangnya uang di sebuah komunitas, mempercepat waktu di mana kredit baru harus diajukan oleh komunitas tersebut, dan juga mentransfer kekayaan dari tangan orang yang mengajukan kredit kepada orang yang menciptakan kredit. Dan bila suatu ketika bunga pinjaman terlambat dibayar oleh si peminjam, dan keterlambatan cicilan tersebut juga ikut dibungakan
Bila tanpa bunga, waktu yang diperlukan sebelum komunitas tersebut harus mengajukan kredit baru akan menjadi lebih lama. Dan bila dibandingkan dengan apa yang akan terjadi dengan sistem bunga-berbunga, waktu yang diperlukan di mana komunitas tersebut harus mengajukan kredit (hutang) baru akan bertambah sangat-sangat drastis, tetapi tetap saja uang itu ada masa berlakunya, tetap saja itu status uang itu adalah hutang dari publik yang harus dilunasi kepada sang pencipta kredit.
Kalau memang harus memilih salah satu di antara keduanya, wajarnya kita akan memilih sistem penciptaan kredit tanpa bunga daripada sebaliknya. Benar-benar orang yang aneh kalau dia berpikir bahwa mengenakan bunga dalam proses penciptaan uang yang diperlukan publik adalah demi kebaikan / kepentingan komunitas tersebut.
Kita-kita semua, termasuk berlevel-level generasi di atas kita, pada dasarnya hanya sekelompok manusia yang silih-berganti mengajukan kredit kepada sang pencipta kredit agar kita bisa memiliki uang sebagai medium transaksi. Demikian juga dengan generasi-generasi yang berikut, hanya akan silih-berganti memikul tanggung-jawab yang semakin lama semakin berat untuk berhutang dan membayar bunga hutang tersebut, dengan tujuan untuk mempertahankan suplai uang di komunitas masing-masing.
Kalau Anda pikir baik-baik, mengenakan bunga dalam debt based money system benar-benar adalah rancangan seorang genius. Kenyataan bahwa ada sekelompok orang yang sudah mulai mempraktekkannya / berusaha mempraktekkannya di komunitas mereka sejak ribuan tahun yang lalu, benar-benar membuktikan bahwa manusia adalah makluk yang sangat cerdas, bahkan sejak dahulu kala.
Tetapi, tentu saja, kenyataan bahwa ada zaman-zaman tertentu di mana manusia bisa membiarkan diri mereka diperbudak oleh sistem ini (termasuk zaman ini) juga membuktikan bahwa manusia juga adalah sebuah makluk yang mudah melupakan masa lalu. Pikiran kita terus-menerus dialihkan ke berbagai hal lainnya oleh sebuah sistem / kekuatan secara tidak kita sadari, tidak ada lagi waktu dan konsentrasi untuk memikirkan darimana uang berasal, dan apa status uang yang kita gunakan. Semua orang sibuk memikirkan urusan pribadinya, urusan keluarganya, urusan kantornya, urusan selebriti pujaannya, urusan politisi favoritnya, dan bla bla bla lainnya
Kalau memang ada sebuah topik yang sedemikian penting yang harus didiskusikan secara nasional di seluruh sekolah, universitas, televisi, radio, bahkan sampai ke sudut warung kopi sekalipun di negara ini, bahkan secara internasional di seluruh dunia, saya rasa topik itu adalah bagaimana seharusnya uang diciptakan kepada publik, kepada kita-kita semua.
Gerakan untuk memulainya sudah dilakukan sejak lama, terutama di luar negeri. Anda bisa melihatnya di internet, ada ribuan, bahkan puluhan ribu website dari orang-orang yang ingin memprotes, lihat juga di youtube, video-video dari orang yang sedang membagi informasi kepada seluruh orang di dunia mengenai sistem gila yang kita gunakan sekarang.
Sedih sekali rasanya ketika membuka televisi, menyaksikan debat dan kampanye calon “pemimpin rakyat,” dan yang kita dengar terus-menerus dari mulut mereka adalah solusi atas berbagai AKIBAT dari masalah, bukan PENYEBAB dari masalah. Saya percaya kebanyakan dari mereka memang berniat untuk memperbaiki keadaan negara, tetapi di sisi lain saya juga merasa mereka sedang mencari solusi di tempat yang salah, bagaimana mereka mau menawarkan solusi kalau mereka bahkan tidak memahami penyebabnya?
Debt Based Money System,
Bunga Kreasi Uang,
Fractional Reserved Banking.
Inilah rangkaian awal penyebab berbagai masalah.
Kita sambung lagi cerita Budi dan kawan-kawannya di atas…
Apa yang Budi pinjam, itulah yang dia bayarkan. Tidak masalah Budi memproduksi apa atau memiliki keahlian apa, kalau Budi meminjam rupiah kepada bank maka rupiahlah yang harus dikembalikan kepada bank. Tidak masalah bentuk rupiah seperti apa, apakah 1 rupiah = selembar kertas dengan cap Rp1 , atau 1 rupiah = 1 gr batu / logam tertentu , atau 1 rupiah = sebatang kayu ukuran tertentu, atau lainnya.
Kalau rupiah adalah kertas, dia harus mengembalikan kertas, kalau rupiah adalah logam, dia harus mengembalikan logam, kalau rupiah adalah sebatang kayu, dia harus mengembalikan sebatang kayu… Plus bunga pinjaman dalam bentuk yang sama.
Untuk menjadi sang pencipta uang, kita harus berhasil membujuk seluruh komunitas untuk menggunakan suatu benda yang kita miliki / produksi sebagai uang. Atau kalau tidak bisa membujuk mereka, kita harus memiliki kekuasaan untuk memaksa mereka untuk menerima suatu benda yang kita miliki / produksi sebagai uang. Hanya 1 dari 2 cara ini, tidak perlu yang lain.
“Biarkan saya yang mengontrol uang sebuah negara, maka saya tidak peduli siapa yang menulis hukum di negara tersebut.”
- Mayer Amschel Rothschild. 1790 –
Medium yang bertahan paling lama sebagai uang bagi umat manusia adalah emas dan perak. Ada yang menyebutnya dengan uang “sejati,” ada yang menyebutnya dengan uang “jujur,” ada yang menyebutnya dengan uang “Tuhan.”
Mungkin ada baiknya juga kita mencari tahu sejarah penambang emas, siapakah mereka sebenarnya? Saya masih sedikit penasaran, apakah emas yang hebat, karena telah bertahan selama ribuan tahun, atau manusia-manusia di balik bisnis emas yang hebat, yang telah bertahan selama ribuan tahun?
Terus-terang, sampai hari ini pun saya masih belum memahami misteri emas, mengapa ratusan juta orang, bahkan milyaran orang begitu menginginkannya. Bagaimana sekeping logam kuning ini bisa memiliki kekuatan yang sedemikian besar di dunia? Apakah karena sejak dulu orang-orang menganggapnya sebagai uang, maka otomatis kita juga harus mempertahankan pendapat tersebut selamanya? Apakah uang, sebagai medium pertukaran barang, benar-benar harus memiliki “nilai intrinsik?” Atau apakah emas benar-benar memiliki nilai intrinsik?
Anyway, poin yang mau saya ceritakan bukan bahan apa yang mau dijadikan sebagai uang, melainkan bagaimana uang muncul ke tangan publik, dan apa status uang itu, sebagai hutang atau sebagai apa, itulah yang ingin saya sampaikan kepada Anda untuk dipikirkan.
Jangan salah paham, saya bukan sedang kampanye anti emas, sebagian tabungan saya juga saya simpam dalam bentuk emas. Seperti yang saya katakan, saya belum memahami misteri emas. Kita sedang hidup di sebuah zaman yang ekstrim, kita-kitalah yang akan menjadi saksi meletusnya bubble hutang terbesar dalam sejarah manusia, mendiversifikasikan tabungan pada zaman seperti sekarang bukanlah sebuah gagasan yang buruk kawan…
Ok, kita balik ke kota Budi tadi…
Umpamakan saja: Bank meminjamkan 1 juta rupiah kepada semua anggota komunitas tersebut dengan bunga 5% / tahun. Tanpa mengenakan bunga-berbunga, dan hanya bunga yang perlu dibayarkan setiap tahun, hutang pokok bisa ditunda.
Maka seluruh anggota kota tersebut harus mengembalikan 50 ribu rupiah setiap tahun kepada bank, dan dalam waktu 20 tahun semua suplai uang di komunitas tersebut sudah habis dihisap oleh bank itu kembali…
Sekarang, bank bukan hanya memiliki 1 juta modal awal yang tetap tercatat sebagai aset mereka (publik masih berhutang 1 juta kepadanya), mereka juga memegang kendali penuh suplai uang komunitas tersebut lewat pembayaran hutang yang dilakukan publik selama 20 tahun ini.
Tentu saja, publik tidak akan menunggu waktu 20 tahun untuk mengajukan kredit baru, jauh sebelumnya mereka sudah mengajukan kredit tersebut. Dunia ini luas, ada berbagai hal lain yang masih bisa dilakukan, masih ada banyak tanah yang masih bisa ditanami & dibangunkan rumah-rumah dan gedung untuk dihuni, dan masih banyak industri-industri baru yang bisa dikembangkan, dll. Ada alasan dan sarana yang sangat banyak bagi komunitas tersebut untuk terus beraktifitas dan menjadikannya sebagai dasar untuk mengajukan kredit baru. Suplai uang tidak akan menurun dengan gampang, selama masih ada peluang pengembangan baru dan daya beli komunitas tersebut masih ada (beban hutang belum mencapai level maksimal).
Bankir yang waras tentunya ingin meminjamkan sebanyak mungkin uang kepada publik. Tidak heran, sebab dari sanalah dia mendapatkan bunga, lewat cara itulah transfer kekayaan dilakukan. Dengan berlalunya waktu, umumnya mereka akan berupaya meminjamkan lebih banyak uang daripada yang mereka miliki. Mereka bisa mencoba mengurangi porsi emas / perak di koin logam yang mereka buat… Atau mengganti emas / perak dengan logam lain yang lebih murah… Atau menulis nota emas untuk menggantikan emas riil… Atau menjadikan nota (kertas) itu sendiri sebagai uang (mengakhiri zaman emas / perak sebagai uang resmi)… Atau mulai menerbitkan cek untuk menggantikan sebagian uang kertas… Atau menciptakan uang elektronik untuk menggantikan uang kertas… dst… Benar-benar kreatif. Tampaknya mereka selalu bisa menemukan cara untuk memenuhi keinginan mereka.
Namun ada hal yang tidak akan berubah…
Bankir hanya menciptakan uang dalam bentuk kredit (hutang), dan mereka selalu meminta lebih daripada yang mereka berikan.
Ibarat seorang tukang kayu yang setiap hari menebang pohon lebih cepat daripada dia menanamnya kembali… Kalau tindakan dia dibiarkan, dan diteruskan ke anak dia… dan diteruskan lagi ke cucu dia… dan diteruskan lagi ke cicit dia… Hanya masalah waktu sebelum dinasti tukang kayu ini menggunduli semua pohon di dunia.
Ini adalah logika matematika yang wajar kawan, saya tidak sedang menulis hal-hal yang misterius di sini…
Fractional reserved system dibuat untuk melipatgandakan kredit yang bisa bank ciptakan… Menggunakan uang kertas sebagai basis, atau menggunakan emas sebagai basis, dua-duanya akan berakhir dengan skenario yang sama kalau kita mengizinkan fractional reserved system, apalagi kalau rasio fractional reserved bisa dibuat fleksibel sesuai keinginan para bankir.
Kalau suplai uang (kredit baru) tumbuh lebih cepat dari pembayaran kredit lama dan bunganya, tanpa diikuti oleh pertumbuhan produksi barang / jasa, kita menyebutnya inflasi… atau menggunakan kosakata yang lebih positif, pertumbuhan ekonomi…
Kalau kredit baru lebih kecil dari pembayaran kredit lama dan bunganya, kita menyebutnya deflasi… atau menggunakan kosakata lain, resesi ekonomi…
Manusia-manusia di dunia ini, kita-kita semua, sebenarnya hanyalah sekelompok orang yang dipermainkan dalam debt based money system dan fractional reserved banking… Hutang kitalah yang menggerakkan aktifitas perekonomian di planet ini.
Omong-omong soal bahan uang, secara teoritis, turunnya nilai uang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan bahan apa yang dipakai untuk dijadikan sebagai uang. Menyalahkan inflasi kepada uang kertas adalah statement yang kurang adil kepada uang kertas.
Kontrol suplai uanglah (kredit) masalahnya. Kitalah yang mengizinkan fractional reserved banking, kembali ke gold standard tidak akan mengubah apapun kalau kita terus hidup dalam sistem fractional reserved banking dengan rasio fractional reserved yang bisa diubah-ubah sesuka hati. Uang kertas memang bisa dipalsukan, tetapi demikian juga dengan nota emas.
Tentu saja, kalau Anda bisa mengembalikan dunia ke zaman emas / perak / logam lainnya sebagai uang, saya juga tidak akan memprotesnya. Seperti yang sudah saya katakan, saya tidak peduli bahan apa yang digunakan sebagai uang, sumber masalah kita adalah debt based money system, bunga uang, dan fractional reserved banking.
Pemerintah, dalam imajinasi saya, adalah institusi yang didirikan untuk membela kepentingan rakyatnya, untuk melakukan berbagai pekerjaan publik, menyediakan sarana dan prasarana publik, termasuk uang sebagai medium transaksi.
Uang seharusnya bisa dicetak oleh pemerintah, tanpa bunga, untuk mewakili produksi barang / jasa dari rakyat yang mereka wakili. Jumlah uang yang boleh dicetak adalah tergantung seberapa besar kapasitas produksi dan perdagangan dari negara tersebut.
Tentu saja, saya akui kalimat seperti ini gampang untuk diucapkan dan agak sulit untuk diterapkan. Menghitung kapasitas produksi, kapasitas perdagangan, dan bagaimana mendistribusikan uang yang akan dicetak kepada publik memang bukan hal yang sederhana. Tapi sulit bukan berarti tidak mungkin, yang penting adalah niat dan kesempatan untuk melakukannya.
Anyway, ini hanyalah salah satu konsep, mungkin masih ada konsep-konsep lainnya yang bisa dipikirkan, itulah diskusi yang kita perlukan untuk terjadi di negara ini. Inilah topik yang menurut saya penting untuk muncul di masyarakat, di sekolah, di universitas, dan di media.
Saya tidak mengklaim bisa memberikan solusi atas masalah ini, tujuan saya menulis blog ini adalah mengajak orang untuk mulai memikirkan metode penciptaan uang yang lebih adil. Harapan saya, tulisan-tulisan di sini bisa ikut membuka minat dan niat dari orang-orang untuk mereformasi sistem keuangan ribawi yang sedang kita anut.
Jadi, mulailah bercerita kawan… Topik ini benar-benar perlu untuk didiskusikan di masyarakat, bukan hanya di dunia maya…