Kamis, 15 April 2010

Raja-Raja Di Rimba-Raya

Suatu ketika, hiduplah sekelompok manusia di sebuah daerah tak dikenal. Ada berbagai jenis suku, muda, tua, pria, & wanita. Seperti biasa, di masyarakat ini, berlaku juga hukum rimba. Siapa lebih kuat, merekalah yang berkuasa. Dan munculnya sebuah kelompok yang lebih kuat daripada yang lain.

Kelompok ini sangat beringas, kuat, dan tanpa kompromi. Semua tanah diklaim sebagai milik mereka. Siapapun yang hidup di area mereka, harus membayar upeti kepada mereka. Mereka menyebut diri mereka pemerintah, yang dipimpin oleh seorang Raja.

Unit transaksi (uang) ditentukan oleh mereka. Mereka menambang material logam tertentu dan kemudian mencetak uang dengan nilai di atas ongkos material logam itu. Material ini tahan lama, gampang dihitung, dan bisa dibuat dalam bentuk dan berat yang standar.

Sang penguasa menyebut uang mereka dengan nama rupis. Kalau ongkos mencetak 1 koin adalah 100 rupis, maka setiap koin bisa dicetak dan diedarkan dengah nilai 150 rupis. Selisihnya adalah untuk keuntungan pemerintah (seigniorage).

Petani, peternak, nelayan, dan para produsen kebutuhan pokok harus menyetor sejumlah hasil panen mereka ke pemerintah setiap beberapa bulan, dan sebagai gantinya mereka akan mendapatkan sejumlah koin (uang) tertentu dari pemerintah, yang sebagiannya akan berakhir kembali ke tangan pemerintah dalam bentuk pajak.

Menolak mengikuti aturan ini, maka mereka akan diusir dari wilayah itu. You are either with me... or against me!

Pemerintahan tentunya tidak sepenuhnya adalah parasit bagi warganya. Semakin lama, semakin banyak suplai pangan dan kekayaan yang mereka himpun dari warga mereka. Mereka kemudian membangun pasukan yang lebih besar, menarik lebih banyak prajurit dari warganya, dan menghidupi mereka. Juga ada lebih banyak pegawai negeri, orang-orang yang dibayar untuk menjalankan pekerjaan administrasi dan pelayanan bagi publik.

Populasi ini sedang membangun peradaban.

Secara umum, warga tidak keberatan membayar sedikit pajak, selama mereka masih bisa mencari nafkah secara relatif bebas di masyarakat, dan bisa hidup tentram bersama keluarga mereka.

Waktu pun berlalu… Sebagian orang bertransaksi dan berdagang lebih baik dibandingkan dengan yang lain. Ada yang berhasil mengumpulkan lebih banyak uang, ada yang mengumpulkan lebih sedikit uang, dan ada juga yang kurang beruntung, yang berakhir sebagai fakir miskin.

Populasi terus bertambah, permintaan terhadap uang pun demikian. Suatu ketika, pemerintah pun mulai kesulitan memasok semua uang yang diinginkan oleh rakyatnya. Mereka menimbang-nimbang beberapa solusi: merampas uang negeri tetangga mereka, atau memilih cara yang lebih damai, campurkan logam yang lebih murah di koin-koin uang baru mereka.

Mereka memutuskan untuk memilih jalan pertama, maka berangkatlah pasukan mereka ke negeri tetangga. Mereka merampas semua barang berharga yang ada di sana, membunuh siapapun yang melawan, memperbudak anak-anak mereka, memperkosa wanita-wanita musuh mereka, mengambil alih tanah mereka, dan tentu saja, koin-koin uang mereka.

Perang dan perang, sampai mereka merasa wilayah yang sudah bisa dirampas sudah habis, ataupun karena tidak berani menantang negeri lain yang tampaknya lebih kuat dari mereka, barulah mereka mengakhiri perang mereka.

Setiap kali pulang perang, mereka membawa bertumpuk-tumpuk koin uang milik musuh mereka, dan menghamburkannya untuk berpesta-raya di negeri mereka. Di bulan-bulan itu, uang beredar sangat tinggi, dan harga berbagai komoditi dagangan pun naik.

Sebaliknya, kalau kalah perang, dan mereka sendirilah yang dirampok oleh negeri lain, maka suplai uang pun jatuh, dan harga berbagai komoditas pun ikut terpaksa ikut turun.

Logam sebagai uang tampaknya tidak sanggup juga melawan hukum inflasi dan deflasi…

Tahun silih berganti, kembali lagi pasokan logam sulit memenuhi keinginan populasi mereka. Maka pemerintah pun memilih cara berikut. Mereka mencampur logam lain yang lebih murah dengan logam sebelumnya yang lebih berharga. Dan dengan demikian mereka bisa menciptakan lebih banyak koin dari materi logam mahal yang sama.

Ini dinamakan devaluasi…

Tidak masalah, solusi ini bekerja relatif baik. Tidak semua warga terima, tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Ingat, either with them or against them…

Sejumlah waktu berlalu, saat semua orang menyadari kandungan logam uang mereka sudah menurun nilainya, padahal nilai muka uangnya masih sama, mereka pun meminta lebih mahal barang dagangan mereka. Harga kembali naik, dan lagi-lagi pemerintah dipusingkan dengan hal yang sama, pasokan logam untuk menciptakan uang kembali kalah cepat dibanding keinginan publik mereka.

Maka sang Raja pun menempuh cara terakhir, mereka menggunakan logam murah sebagai uang dan mencetak mereka dengan nilai muka sama seperti uang yang menggunakan logam mahal. Cara ini berhasil membeli waktu bagi mereka, setidaknya untuk beberapa belas tahun ke depan.

Setelah itu, inflasi kembali naik tinggi, harga melambung tak terkendali, dan warga pun mulai bergejolak.

Devaluasi tidak mungkin lagi dilakukan, material logam yang dipakai tidak mungkin bisa lebih murah lagi dalam koin-koin versi terakhir, dan produksi tambang-tambang baru belum sanggup mengejar permintaan. Selama seratus tahun lebih, ekonomi ambruk, aktifitas populasi tidak berkembang, dan peradaban bergerak mundur. Penyakit, perang lokal, dan musibah-musibah bermunculan. Banyak yang mati dalam era kegelapan ini.

Suatu ketika, datanglah seorang bankir suku Semot, Tuan Rokiburger, menghadap sang Raja pemerintahan ini dan menawarkan sebuah solusi kepadanya.

Bankir ini berasal dari keluarga yang sudah turun-temurun bergerak di usaha peminjaman uang (lintah darat). Konon, akumulasi kekayaan keluarganya, koin-koin uang dan perhiasan yang telah ditimbun di gudang rahasia mereka, tidak akan habis difoya-foyakan dalam 20 turunan.

Rokiburger bersedia meminjamkan uang kepada pemerintah, dan sebagai gantinya dia ingin agar mulai sekarang hak pengadaan suplai uang di negeri ini dialihkan kepadanya.

Filsafat yang diajarkan leluhur bankir ini anak-anaknya adalah:
"Biarkan saya yang mengendalikan suplai uang sebuah negara, dan saya tidak perlu peduli siapa yang membuat hukumnya."

Sang Raja muda ini, yang tidak mewarisi semangat rimba leluhurnya, bukannya membunuh sang bankir dan merampas uangnya, justru mengangguk setuju dengan gagasan ini. Dan mulai sekarang, diam-diam sang bankir inilah yang menjadi pemasok uang di negeri ini.

Pemerintah masih memegang bisnis pertambangan logam uang, tetapi distribusinya adalah lewat bank-bank milik Rokiburger.

Bankir ini membuka ratusan bank-bank baru di seantero negeri ini. Semua orang bebas menabung dan meminjam uang di sana. Siapapun bisa mendapatkan uang di sana, setelah menandatangani surat perjanjian peminjaman uang tentunya.

Semua orang boleh meminjam, bila mereka setuju membayar lebih banyak daripada yang mereka dapatkan.

Pemerintah sendiri, setelah mendapat pinjaman uang dari sang bankir, kembali beroperasi seperti biasanya.

Bankir ini meminjamkan sejumlah besar uang kepada sang Raja, dan merekomendasikan berbagai jenis proyek, besar dan kecil, penting ataupun tidak penting, yang dibiayai oleh hutang kepadanya, sekali-kali juga menghasut sang Raja agar dia menyerang beberapa negeri tetangga yang lebih kecil yang terkenal kaya sumber daya alam dan wanita cantiknya. Bayarnya boleh pelan-pelan katanya.

Resiko gagal bayar sebenarnya tidak terlalu besar, bagaimanapun Raja masih berhak menagih pajak kepada rakyatnya. Memang lebih menguntungkan dan tidak banyak pusing meminjamkan uang kepada pemerintah secara grosir daripada kepada rakyat jelata secara retail.

Bergenerasi-generasi berlalu, dan peradaban pun berkembang lebih maju. Hanya sekarang sang bankir sendiri menghadapi masalah yang dihadapi sang Raja beberapa generasi sebelumnya.

Suplai uang kalah cepat dibanding permintaan terhadap uang.

Semua orang harus membayar lebih daripada yang mereka minta. Puluhan tahun waktu telah berlalu, bunga yang terus dibungakan, kecepatan pertambahan suplai fisik mata uang tidak lagi bisa mengimbangi volume uang yang diperlukan sistem hutang dan bunga ini (debt based money).

Dalam beberapa generasi ini, semua uang yang eksis telah berubah menjadi pembayaran bunga hutang di dalam sistem. Bunga hutang konsumen, bunga hutang pemerintah, semuanya berpindah tangan ke kantong bank Rokiburger. Suplai uang sekarang hanyalah uang-uang yang disewakan (dipinjamkan) kembali oleh sang bankir kepada seluruh populasi itu.

Sistem ini begitu menguntungkan bagi sang bankir, dan dia tidak akan membiarkan sistem ini ambruk hanya karena suplai fisik uang yang tidak lagi mencukupi. Masalah ini terlalu sepele untuk dijadikan sebagai alasan ambruknya sistem mega-profit ini.

Sekarang, daripada meminjam dan menggunakan uang logam sebagai uang, bankir ini mengajarkan kepada seluruh populasi bahwa mereka boleh menggunakan uang baru yang lebih modern, uang kertas.

Nilai uang kertas ini sama dengan uang logam yang ada di rekening bank mereka. Logam senilai 100 rupis adalah setara dengan uang kertas 100 rupis. Setiap lembaran uang kertas akan dibacking oleh logam yang sama yang ada di berangkas raksasa bank Rokiburger.

Semua uang adalah fiat.

Yang sedang berkuasa mengatakan inilah uang, maka inilah uang. Titik. You are either with me… or against me!

Tidak benar-benar masalah bagi si bankir apa yang digunakan sebagai uang. Yang penting dari uang adalah kekuasaan yang bisa didapat dengan memilikinya.

Sekarang, masalah selesai lagi untuk sementara. Bankir tidak lagi perlu sibuk memenuhi kebutuhan uang logam yang diperlukan sistem debt based money ini.

Selama beberapa dekade berikut, peradaban berkembang semakin modern, industri dan teknologi maju terus ditemukan, dan standar hidup populasi ini pun jauh lebih baik.

Suatu ketika, karena uang kertas yang beredar sudah jauh lebih banyak dari uang logam yang ada, dan juga karena harga tambang logam sendiri sudah lebih mahal dibanding nilai muka (face value) uang logam itu, maka sang bankir pun mengumumkan bahwa semua uang logam harus ditarik kembali dan tidak boleh lagi beredar.

Nilai muka uang logam harus diubah (dinaikkan), atau solusi yang lain, logam bukan lagi uang. Untuk jalan singkatnya, sang bankir memilih jalan kedua. Logam sebagai uang adalah sejarah.

Kemajuan zaman memberikan alternatif lain kepada sang bankir. Uang kertas akan dikombinasikan dengan uang elektronik di rekening perbankan. Kalau memang bisa dipermudah, mengapa harus dipersulit…

Masa transisi psikologi massa dalam proses ini sama saja seperti ketika mengganti uang logam ke uang kertas. Di tahun-tahun berikut, keluarga Rokiburger juga merencanakan untuk mengganti semua uang kertas ke medium elektronik, cukup dengan sebuah kartu chip di dompet sudah cukup untuk melakukan semua transaksi pembayaran.

Mulai era ini, tidak akan pernah ada lagi masalah suplai fisik uang yang tidak cukup. Masalah ini sudah terpecahkan selama-lamanya. Satu-satunya hal yang akan menggoncang sistem debt based money Rokiburger ini adalah kalau tidak cukup orang yang meminjam uang (kredit). Tanpa hutang baru, balon suplai uang di tangan warga negeri ini akan mengempes, dan peradaban akan bergerak mundur, dengan segala resiko-resikonya.

Mengenai keluarga Rokiburger ini, sejak kakek buyutnya mendapatkan hak suplai uang di negeri ini, segalanya berubah… Berubah ke arah yang lebih spektakuler.

Bunga uang yang disewakan ke populasi adalah satu hal, kontrol kepada siapa uang disewakan adalah hal yang lain. Setiap arena dan industri selalu ada kompetisi, tapi siapa yang memiliki akses kredit akan lebih cepat mengekspansi usahanya daripada yang tidak, dan keluarga Rokiburger tahu pasti hal ini.

Rokiburger pun bermitra dengan beberapa ratus partnernya yang hampir semuanya dari suku Semot, dengan perkecualian beberapa pengikut setia dari suku lain yang ikut serta dalam rencana besar mereka, Global Domination.

Slogan favorit mereka:
Siapa mengendalikan bahan pangan, dia yang mengendalikan manusia.
Siapa mengendalikan minyak, dia yang mengendalikan benua.
Siapa mengendalikan uang, dia yang mengendalikan dunia.

Dalam waktu beberapa generasi, selisih skala bisnis perkumpulan mereka dengan kompetitor-kompetitornya semakin lama semakin besar. Mereka mendominasi industri-industri penting seperti pertambangan, benih pertanian, pengeboran minyak dan gas, perbankan, asuransi, farmasi, pendidikan, manufaktur senjata, dan media informasi.

Sektor-sektor yang sebelumnya harus memprioritaskan kepentingan publik seperti pasokan listrik, air bersih, dan telekomunikasi, perlahan-lahan diprivatisasikan, dijual ke perusahaan-perusahaan besar milik salah satu dari perkumpulan elit Rokiburger dan mitranya.

Sejak lahir, dari bayi sampai meninggal di hari tua, apapun yang publik lakukan, mereka secara langsung atau tidak harus membayar kepada tuan Rokiburger dan teman-temannya.

Waktu kecil harus disuntik vaksin, katanya bisa mencegah penyakit. Tapi entah kenapa, bayi-bayi modern tampaknya tidak lebih kuat dibanding generasi sebelumnya. Setelah masuk sekolah, selama belasan tahun ke depan harus membaca buku dan mempelajari kurikulum yang telah dirancang oleh para “ahli” di bidangnya.

Setelah otak, pola pikir, dan perilaku setiap warganya selesai diprogram selama belasan tahun di institusi “pendidikan,” mulailah era di mana mereka akan memberikan kontribusi di dalam sistem ini. Saatnya membayar kredit uang kuliah, kredit sepeda motor, kredit mobil, kredit rumah, kredit usaha, dan kredit-kredit lainnya.

Kalau mau makan, makanan akan berasal dari panen petani yang menanam benih hibrida produksi perusahaan mereka. Kalau mau isi minyak, minyak akan berasal dari pabrik penyulingan minyak multinasional mereka.

Dan yang lain, biaya pengobatan bagi semakin banyak orang yang mulai terjangkit penyakit modern: autisme, diabetes, kanker usus, kanker rahim, dan kanker-kanker mengerikan yang lain. Bagi sebagian orang malang yang terjangkit penyakit permanen, seumur hidup mereka akan bekerja membayar perusahaan farmasi.

Di dunia kerja, setiap kali menerima gaji, generasi ini juga membayar pajak penghasilan. Bagus, setiap warga telah berkontribusi bagi pembangunan. Yang tidak mau membayar tentu saja tidak peduli kepada bangsa, tidak peduli kepada kaum papa.

Tidak masalah kalau 30% pengeluaran pemerintah dipakai untuk membayar surat hutang mereka. Tidak masalah kalau politisi menghamburkan uang dalam proyek yang luar biasa mubazir. Tidak masalah kalau sebagian uang yang dipinjam pemerintah pada dasarnya tidak perlu dimulai. Tidak masalah kalau sejumlah pengeluaran sebenarnya bisa dihemat hanya dengan mencabut hak penciptaan uang Rokiburger. Zaman di mana materi pembuat uang tidak cukup sudah lama berlalu.

Pernah suatu ketika, pemerintah mereka menghabiskan 100 trilyun rupis untuk membangun jembatan penghubung 2 pulau. 100 trilyun for God sake! Jembatan ini akan menjadi simbol keberhasilan pembangunan katanya. Tanpa diskusi, tanpa debat. Mereka memutuskan demikian, maka demikian. Warga negeri ini akan dipajaki 100 trilyun tambahan demi simbol ini. Dan ada ratusan proyek lainnya yang sedang para politisi bayangkan, semuanya tidak perlu minta izin publik. Tugas rakyat hanyalah membayar.

Selesai membayar pajak, pekerja perlu membayar iuran jaminan hari tua. Katanya uang itu adalah investasi dan akan dikelola oleh para ahli keuangan. Dalam praktek, sejumlah uang hasil jerih payah itu dipakai untuk membeli unit-unit investasi yang dijual oleh perusahaan-perusahaan finansial Rokiburger juga. Manager dan pimpinan perusahaan finansial itu segera mendapat bonus aduhai tahunan atas penjualan perusahaan mereka. Bonusnya short term, bayar sekarang, right here, right now! Manfaat para pekerja yang membayar, slogannya, invest for the long term….. Bayangkan masa tuamu… Bayangkan… Bayangkan…

Pemerintah, setelah beberapa generasi berlalu, telah berubah sistemnya dari sebuah kerajaan menjadi sistem yang dinamakan demokrasi. Raja lemah dan goblok sebelumnya tidak lagi sanggup mempertahankan kekuasaannya di rimba-raya ini. Leluhurnya pasti sedang menangis di neraka.

Suara rakyat katanya adalah suara Tuhan, maka setiap beberapa tahun negeri ini akan menhabiskan puluhan trilyun rupis uang pajak warganya untuk memilih beberapa ratus politisi yang paling mereka idolakan.

Semua orang mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Rakyat mendapatkan sebuah negara, sebuah tempat di mana mereka bisa mencari nafkah dan berkeluarga, dengan ongkos membayar beberapa jenis pajak, membayar ongkos sewa uang, dan menuruti semua peraturan dan undang-undang yang ada.

Politisi, militan, dan petugas kejaksaan mendapatkan kekuasaan, gaji tinggi, kesempatan untuk korupsi, rasa hormat dan rasa takut dari rakyat kepada mereka.

Bankir mendapatkan keuntungan dengan memasok uang ke seluruh negeri, dan bersama geng-gengnya mendominasi semua sektor penting perekonomian yang ada.

Semuanya relatif bahagia, kehidupan tidak mungkin bisa lebih baik lagi.

Kecuali saat tibanya beban hutang yang tidak lagi sanggup dibayar. Suatu waktu setiap beberapa dekade, selalu muncul resesi di negeri ini. Banyak sekali keluarga yang memiliki beban pengeluaran yang tak lagi sanggup ditangani.

Dari hanya bapak yang bekerja menjadi ibu yang juga bekerja, dari 1 set penerimaan menjadi 2 set penerimaan, tetapi tetap saja pengeluaran sudah lebih besar dari penerimaan.

Semakin banyak orang meminta tolong kepada pemerintah, bagaimanapun politisi tidak dipilih untuk menerima gaji buta. Dan solusinya selalu adalah pajak yang dinaikkan kepada komponen rakyat yang masih sanggup membayar. Katanya telah terjadi kesenjangan antara kaum yang punya dengan kaum yang tidak.

Di lain kesempatan, pemerintah mengatakan bahwa subsidi listrik dan air harus dikurangi, karena telah dinikmati oleh orang yang salah. Sebagai gantinya, mereka akan memberikan sedikit uang kepada kaum tidak punya.

Dalam waktu singkat, harga berbagai barang pun ikut naik. Bagaimanapun, biaya tinggi dan pajak yang lebih besar tetap harus dibebankan oleh pedagang kepada pembeli mereka. Solusi populer para politisi pada akhirnya hanya membawa kondisi masyarakat ke masa sebelum ada solusi.

Semakin sering rakyat meminta tolong kepada politisi, semakin banyak masalah susulan yang mereka terima. Namun, ini tentu saja tidak akan menghalangi mereka untuk terus mencoba.

Dari generasi ke generasi, semakin lama semakin banyak aturan dan undang-undang. Hak manusia semakin lama semakin terbatas, pajak semakin lama semakin tinggi, dan kekuasaan negara semakin lama semakin dominan.

Tetapi, mayoritas publik memang menginginkannya, tirani lebih baik daripada kekacauan.

Orang-orang yang katanya paranoid berimajinasi akankah tiba sebuah era di masa mendatang di mana orang-orang yang bekerja di sektor swasta akan lebih sedikit dibanding orang-orang yang bekerja untuk pemerintah. Masalah sosial muncul sedemikian banyaknya sehingga pegawai pemerintah harus terus ditambah.

Namun, tidak ada perubahan penting apapun yang terjadi. Hari berganti hari, tahun berganti tahun, setiap orang sibuk memikirkan urusan pribadi mereka, sibuk memikirkan periuk nasi keluarga mereka. Lagian, ada terlalu banyak hal menarik lainnya untuk diperhatikan.

Ada partai-partai politik yang sedang berselisih, ada skandal erotis para selebriti, ada big match sepak bola, basket, dan golf, ada debat-debatan para ekonom mengenai strategi mensejahterakan negeri, ada tragedi pembunuhan dan kekerasan rumah tangga, ada demonstrasi para homoseksual atas hak-hak mereka, dan skandal-skandal para rohoniwan yang seharusnya religius, dan masalah-masalah lainnya.

Tidak ada waktu untuk memikirkan masalah, dan memang tidak lagi mungkin mencapai kesepakatan kalau sudah lebih dari 10 orang bertemu. Semua orang menyampaikan gagasan versi masing-masing, semua orang membela kepentingan kelompok masing-masing. Bagaimanapun semua orang harus makan, bukan begitu?

Rokiburger dan mitra-mitra elitnya, tidak akan ambil pusing dengan berbagai masalah sosial ekonomi yang ada. Apapun boleh diperdebatkan, siapapun boleh jadi presiden, asalkan jangan mengambil hak penciptaan uang dari mereka.

Kalau memang kondisi sedemikian buruk dan rakyat menuntut cukup keras agar pemerintahan yang sedang berkuasa untuk turun, maka itulah yang akan terjadi. Rokiburger dan rekan-rekannya harus menginvestasikan uangnya lagi untuk mempromosikan dan menyogok sekumpulan politisi yang lain, membentuk tim pemerintahan yang baru. Tidak masalah, uang investasi ini akan kembali.

Orang-orang yang menyinggung persoalan ini, seperti biasa, akan diabaikan. Dan kalau tidak bisa diabaikan, maka segera akan ada serangan para “ahli” dan media akan penjelasan moroniknya. Keraguan pun muncul, bagaimanapun, mana mungkin pendapat para nobody ini bisa lebih dipercaya dibanding para guru besar dan staf ahli yang hari-hari muncul di tv dan koran?

Adam Smith, Karl Max, Ludwig Von Mises, Their way… or no way

Untungnya, belum ada bukti pakar ekonomi lebih waras atau lebih berhasil dalam kehidupan dibanding yang lain.

Apapun yang muncul di kurikulum nasional dianggap benar, apapun yang dicetak oleh penerbit dan koran besar dianggap benar, apapun yang dilaporkan sebagai fakta di tv pastilah benar. Siapalah yang bisa menyalahkan orang-orang yang percaya? Media besar mewakili kredibilitas.

Selain sekolah, hanya medialah tempat melancarkan mind control dan social engineering. Itulah sebabnya, kemanapun orang pergi di negeri ini, semua media utama selalu dikuasai oleh Rokiburger dan mitra-mitranya.

Di daerah-daerah tertentu, malang bagi sebagian orang yang mengkritik sistem ini, mereka bisa ditangkap dan dipenjarakan atas tuduhan anti-Semot. Setiap kali mereka menyebut Rokiburger dan teman-temannya sedang berkomplot untuk mendominasi setiap sektor industri secara tidak adil, orang-orang ini akan dicap sebagai ekstrimis rasialis oleh media dan lembaga pengadilan.

Sekali-kali, akan ada politisi yang ikut membicarakan mereka. Tapi satu-satunya persamaan di antara mereka adalah karier politik mereka tidak berjalan sukses. Pernah seorang presiden mencoba membelot dan melawan Rokiburger, tetapi sayang sekali tidak lama kemudian dia mati tertembak dalam salah satu konvoi di jalanan.

Sampai suatu ketika, saat semua orang, termasuk pemerintah, tampaknya benar-benar sudah jatuh miskin, semua politisi akhirnya bersama-sama mencoba mengancam Rokiburger. Surat hutang negara sudah tidak laku, tapi anggaran belanja tidak bisa lagi dikurangi, jadi bank Rokiburger harus membeli semua surat hutang baru itu.

Setidaknya ini sebuah kompromi kata mereka. Mereka bisa saja mencabut sama sekali hak Rokiburger untuk mensuplai uang, mengembalikan hak penciptaan uang kepada negara (kembali ke awal rimba-raya), tetapi mereka masih baik hati membiarkannya.

Rokiburger akan membeli surat hutang baru itu dengan menciptakan kredit-kredit baru. Memang ada devaluasi atas hartanya (semua rupis pada dasarnya sudah adalah miliknya), tetapi setidaknya statusnya masih adalah kreditur.

Tak apalah, tangan yang memberi masih di atas tangan yang menerima, toh nantinya juga akan dibayar kembali oleh seluruh rakyat di negeri rimba ini, plus bunga.

Masa depan tampaknya masih sangat menjanjikan… Bagi Rokiburger’s…